-Menjaga Keseimbangan antara Penegakan Hukum dan Kebebasan Pers-
Oleh: Ade Muksin, S.H -Ketua PWI Bekasi Raya-
Kasus yang menyeret Direktur Pemberitaan JakTV sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dengan tuduhan merintangi tugas kejaksaan (obtruction of justice) terhadap kasus korupsi sektor timah dan kasusnya Tom Lembong.
Kejaksaan Agung juga sudah menetapkan Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar (TB) bersama pengacara Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) sebagai tersangka dalam kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice).
Hal ini membuka kembali diskursus penting soal relasi antara penegakan hukum dan kebebasan pers. Tuduhan perintangan penyidikan melalui narasi negatif dan dugaan permufakatan jahat menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah proses ini sudah melibatkan Dewan Pers sejak awal?
Sebagai aktor media, Direktur Pemberitaan bekerja dalam ruang lingkup jurnalistik yang seharusnya diawasi terlebih dahulu melalui mekanisme etik, bukan langsung masuk ke ranah pidana. Jika yang dipersoalkan adalah produk jurnalistik atau aktivitas editorial, maka sangat penting bagi Kejaksaan Agung untuk berkoordinasi lebih awal dengan Dewan Pers, bukan setelah status hukum dinaikkan menjadi tersangka dan diumumkan ke publik.
Keterlambatan pelibatan Dewan Pers dalam konteks ini dapat memunculkan persepsi kriminalisasi terhadap profesi jurnalis, sesuatu yang sangat kita hindari dalam negara demokratis. Lebih dari itu, hal ini berisiko menciptakan efek jera yang salah kaprah yaitu membungkam kritik atau mengikis keberanian media dalam menjalankan fungsi kontrolnya.
Konsultasi lebih awal akan membantu membedakan mana yang merupakan kerja jurnalistik yang sah, dan mana yang mungkin merupakan penyalahgunaan media untuk kepentingan lain.
Selain itu, nampaknya Kejaksaan lupa bahwa pada tahun 2019 telah dilakukan MoU antara Dewan Pers dan Kejaksaan Agung yang dituangkan dalam SKB NO. 01/DP/MoU/II/2019 dan No. Kep.40/A/JA/II/2019 yang pada intinya kedua lembaga sama-sama menjaga ruang demokrasi melalui tugas dan fungsinya masing-masing yakni Kejaksaan sebagai lembaga penuntut untuk mempertimbangkan suatu kasus apakah terkait konten pers atau tidak, maka dalam hal itu, Dewan Pers-lah sebagai lembaga yang dapat memutus awal, agar kerja Kejaksaan tidak tergelincir dalam pembunuhan demokrasi.
Oleh karena itu, koordinasi lintas lembaga harus diperkuat dan disistematisasi. Perlu ada kejelasan mekanisme di mana kasus yang melibatkan insan pers, terutama dalam kapasitas jurnalistiknya, ditangani lebih dahulu oleh Dewan Pers untuk memastikan apakah benar terjadi pelanggaran etik atau justru bagian dari kebebasan pers yang sah.
Kalau penanganan kasus seperti ini dilakukan tanpa keterlibatan Dewan Pers sejak awal, bisa menciptakan ketakutan di kalangan jurnalis atau redaksi bahwa langkah redaksional mereka bisa langsung ditarik ke ranah pidana ini mengancam iklim kebebasan pers, dan secara jangka panjang bisa mengganggu fungsi media sebagai pilar demokrasi.
Langkah kejaksaan seharusnya transparan sejak awal: apakah yang diselidiki adalah pribadi pelaku, atau konten jurnalistiknya. Jika produk jurnalistik yang dipersoalkan, maka kode etik dan mekanisme penyelesaian oleh Dewan Pers adalah pintu pertama. Hanya jika ada unsur pidana di luar kerja jurnalistik (misalnya pemufakatan jahat, intimidasi, atau sabotase), maka sangkaan pelanggaran hukum pidana yang disangkakan.
Menjaga kebebasan pers tidak berarti membebaskan siapa pun dari hukum, tetapi memastikan penegakan hukum tidak menjadi alat yang membungkam kebenaran. Prosedur yang adil, proporsional, dan menghargai peran masing-masing lembaga akan menghasilkan demokrasi yang sehat dan akuntabel. (Red)